Posted in Ulasan Film

Kemenangan dan Kesederhanaan PARASITE

*hati-hati, mungkin mengandung spoiler untuk yang belum nonton*
“Baru kali ini degdegan nonton Oscar!”
Demikian komentar salah satu kawan di grup pecinta film. Sepagian kemarin, saya pun menatap layar komputer (live streaming dari salah satu portal berita) dan jari bergerilya mengetik balasan chat di grup. Hahahaha.
Penyelenggaraan Academy Awards ke-92 tahun ini memang penuh kejutan, meski beberapa pertanda sudah terlihat di awal-awal. Apa seeh.
Dilihat secara keseluruhan, jajaran film yang masuk nominasi bukanlah lawan main-main. Biasanya selalu ada film yang (terlihat) jauh lebih unggul disbanding yang lain.
Tidak tahun ini.
Ada Joker yang disajikan indah sekaligus mencekam, mengobrak-abrik emosi penonton ketika menyaksikan kehidupan Arthur Fleck yang seperti mewakili sebagian masyarakat kita. Tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif, mengalami perundungan, berujung pada depresi hebat. Akting Joaquin Phoenix memukau disertai script cerita yang solid, menjadikan film ini (salah satu) jagoan saya untuk mendapatkan Oscar.
Lalu ada The Irishman, film besutan salah satu legenda Hollywood, Martin Scorsese, yang memasang jajaran cast uwow macam Robert De Niro, Al Pacino, Joe Pesci dan Harvey Keitel.
Saya sempat bilang ke suami, jika merujuk pada kebiasaan Oscar yang suka agak-agak “nyeni” dan anti film box-office, The Irishman seharusnya bisa menang. Dengan durasi sepanjang tiga jam lebih, Scorsese sukses mengarahkan para pemain kawakan ini untuk menyajikan akting kelas dewa.
Di akhir, muncul 1917, film bertema perang (PD I) garapan Sam Mendes. Meski leading actors di sini adalah para pemain muda (Dean Charles Chapman dari Game of Thrones, dan George McKay dari Captain Fantastic), tapi film ini unggul secara teknis.
Saya sangat suka dengan pengambilan kamera di sini, seolah tak terputus dan tanpa editing sama sekali. Istilahnya “one shot”. Kadang ketika menonton film, kita pasti tersadar bahwa ada pergantian “shoot” yang halus atau tersamar (atau bahkan jelas sekali). Di 1917, pengambilannya sangat mulus, sampai-sampai gaya “single take style” nya Sam Mendes ini dibahas di beberapa artikel.
Saya sendiri cukup menyukai gaya Sam Mendes, sejak ia menyutradari American Beauty (1999). Saya tak begitu tahu istilah sinematografinya, tapi Mendes bisa menyajikan gambar yang tak hanya indah namun sarat dengan muatan emosi, kira-kira begitulah.
Saingan berikutnya ada Jojo Rabbit, Marriage Story dan Ferrari versus Ford. Saya belum menonton semuanya, namun dalam ulasan yang saya baca, masing-masing juga memiliki kelebihan. Terutama Jojo Rabbit dan Marriage Story. Yang pertama berkisah tentang masa pendudukan NAZI, dari sudut pandang seorang anak bernama Jojo. Yang kedua berkisah tentang kehidupan rumah tangga, yang katanya inspiring sekali.
Khusus untuk Marriage Story, entah kenapa saya menunda untuk menontonnya, sebab ingin menyiapkan mental yang tangguh dulu. Wuahahahaha.
Kemudian, yang terakhir akan saya bahas adalah, tentu saja Parasite. Film asal Korea Selatan yang mencatat sejarah di Oscar ini, sudah menawan hati sejak saya menyaksikannya pertama kali.
Apakah Parasite istimewa sebab ia dari Asia?
Tunggu, dalam sejarahnya, sudah ada beberapa nama orang Asia dan film dari Asia yang masuk nominasi Oscar.
Tercatat Ang Lee, sutradara asal Taiwan yang pernah masuk nominasi Oscar untuk karya-karyanya seperti Crouching Tiger Hidden Dragon (2000), Life of Pi (2012) dan Brokeback Mountain (2005). Pada judul terakhir, Ang Lee menyabet gelar sutradara terbaik.
Nama Asia lainnya yang pernah masuk nominasi adalah Asghar Farhadi, sutradara asal Iran lewat film “A Separation” (2011). Ken Watanabe, aktor berkarakter asal Jepang juga masuk nominasi aktor pendukung terbaik lewat “The Last Samurai” (2011).
Paling anyar adalah sutradara Hirokazu Koreeda asal Jepang yang mempersembahkan Shoplifters (2018), salah satu film paling mengguncang secara emosional (setidaknya menurut saya). Shoplifter masuk nominasi Oscar pada kategori Best Foreign Picture, meski akhirnya dikalahkan Roma dari Meksiko, karya Alfonzo Cuaron.
Tentu kita juga masih ingat dengan kemenangan Slumdog Millionnaire di tahun 2008, yang disambut gembira banyak warga Asia, karena merasa terwakili, meski aslinya film ini dibuat oleh sutradara asal Inggris (Danny Boyle), sebuah entertainment company asal Inggris dan didistribusikan oleh Fox dan Warner Bros asal Amerika.
Mengapa kemenangan Parasite, yang menyabet empat penghargaan Oscar menjadi begitu istimewa?
Terlepas dari serangan hallyu (demam Korea) yang begitu masif di industry hiburan internasional, Parasite memang sebuah masterpiece.
Jika Joker membuat nama Joaquin Phoenix menjadi melekat padanya (seperti Heath Ledger di The Dark Knight), maka Parasite membagi rata kualitas akting para pemainnya. Joker is a one man show, kalau kata teman saya. Bukan berarti ia hasil kerja satu orang, tapi kesan itulah yang kita dapatkan. Joker ya Joaquin Phoenix.
Secara tema global, 1917 barangkali yang paling menarik, sebab ia mengangkat tema perang. Terkait sinyal-sinyal perang yang sudah dicanangkan Amerika-Iran, seharusnya 1917 menjadi relatable dengan penonton. Namun, tak semua orang suka isu politis. Meskipun suka, barangkali tidak banyak (yang peduli). Sementara Parasite menyuguhkan tema yang lebih universal : kesenjangan sosial.
Terbukti, meskipun disajikan dalam bahasa aslinya (Korea), Parasite mampu menyampaikan pesan ke hati penonton. Hidup si Kaya dan si Miskin, ternyata tak sesederhana itu. Bahwa pada suatu ketika, kita akan dibuat bingung, ke pihak mana kita mesti lebih bersimpati.
Plot kisah Parasite dibuat rapi, menyisakan banyak layers of twists, yang meskipun mungkin penonton sudah bisa agak menebak, tetap nendang juga. Secara keseluruhan, Parasite menyajikan tontonan yang dapat dimengerti semua kalangan, tanpa melupakan teknik storytelling yang mencengangkan, penyajian sinematografi yang indah dan akting chemistry antara para pemainnya yang begitu kuat.
Suami saya sempat mengatakan, dibandingkan Parasite, Shoplifters lebih rapi dan tak terduga. Namun kemudian kami bersepakat, bahwa Parasite menang dari segi teknik penggarapan. Lagipula, Shoplifters dan Parasite tidak bertemu di ajang dan tahun yang sama. Sekadar membandingkan saja.
Setelah berturut-turut memenangi Best Foreign Picture (film asing) dan Best Original Screenplay (skenario), saya belum yakin Parasite akan mendapatkan penghargaan lagi. Namun setelah Bong Joon Hoo (BJH) dianugerahi sutradara terbaik (WHAAAAT), saya jadi punya feeling, Parasite akan jadi film terbaik. Terbukti sudah.
BJH naik ke podium dengan wajah tak percaya. Bukan tanpa alasan, saingannya ya Allah, ada Martin Scorsese, Quentin Tarantino, Sam Mendes dan Todd Phillips.
Siapalah ini, sutradara berwajah Asia, yang mirip Didi Petet, ini? Orang mungkin hanya mengingatnya dari film Okja (2017) yang sempat tembus pasar internasional dan memenangi beberapa penghargaan. Tapi bisa mengalahkan Tarantino dan Scorsese? Cuih.
But then, he did.
Dengan wajah polosnya, sambil tersenyum malu-malu, ia bercerita bahwa ada satu kutipan yang selalu ia ingat hingga merasuk ke jiwa. “When I was young and studying cinema, there was a saying that I carved deep into my heart, which is that, The most personal is the most creative.”
JBH kemudian menyebutkan kutipan tersebut datang dari Martin Scorsese. Sontak semua tamu undangan pada perhelatan Oscar berdiri dan memberikan aplaus pada Opa yang tersenyum-senyum.
JBH juga melanjutkan dengan berterima kasih pada Quentin Tarantino yang sudah membantu memperkenalkan film-filmnya ke public Amerika. “When Americans were not familiar with my films, Tarantino always put my films on his list.” JBH kemudian menyampaikan pujian kepada Sam Mendes dan Todd Phillips sambil mengatakan, seandainya diperkenankan, ia ingin membelah piala Oscar menjadi lima bagian, sehingga setiap nominee bisa mendapatkannya.
Bagian pidato JBH ini favorit saya dari semua perhelatan Oscar kemarin. Sama halnya dengan Joaquin Phoniex yang menyampaikan pidato bersahabat di ajang SAH Awards, ketika ia memuji beberapa aktor lain, dari mulai Leonardo DiCaprio, Adam Driver, Christian Bale, hingga mendiang Heath Ledger yang menjadi inspirasinya. Baik JBH maupun Phoenix menunjukkan contoh sikap membumi mereka, meskipun mereka hebat dan terkenal.
Parasite total menyapu empat penghargaan di ajang Oscar, ditambah 198 penghargaan dari ajang lainnya, termasuk dari Cannes Film Festival.
Kemenangan Parasite boleh jadi ditenggarai sebagai salah satu bentuk kampanya ‘diversity’ yang akhir-akhir ini gencar dilakukan Amerika lewat Hollywood.
Barangkali.
Sudah sedemikian lama, ajang Oscar juga disebut-sebut bermuatan politis, dengan isu Yahudi, segregasi kulit hitam dan putih, dan yang paling akhir adalah emansipasi perempuan dan kaum LGBT. Konon kabarnya.
Barangkali begitu.
Namun sebagai penikmat film, saya sendiri senang dan mengapresiasi kemenangan Parasite, sebagai sebuah karya seni yang memang mumpuni. Ibaratnya, kalo kita menang lomba, biarpun digosipin tetangga kanan kiri, tapi kalo memang karya kita bagus, memangnya kenapa?
Parasite bukan saja bukti bahwa film berbahasa selain Inggris bisa menang di penghargaan internasional, namun juga bahwa kesederhanaan dan kerendahan hati sineasnya juga membuat simpati. JBH dengan senyum simpul di wajahnya dan memerlukan penerjemah untuk membantunya berbahasa Inggris, tidak kalah pamor dengan sutradara dunia lainnya yang sudah menelurkan lebih banyak karya.
Once again, way to go, Parasite!
Chukkae !
_110845856_hi059851856

Author:

Hanya seorang pecinta kata-kata. Kebanyakan saya menulis tentang hal-hal biasa, dengan cara yang diusahakan tidak biasa. Keseharian saya dipenuhi dengan momong anak, diskusi film, mengajar bahasa asing dan membaca buku. Full time mother, part time teacher, lifetime learner ..

Leave a comment